Critical Eleven by Ika Natassa |
Kita memilih pasangan seperti memilih biji kopi yang terbaik. Bukan salah mereka (baca:pasangan) jika rasanya kurang enak. Salah kita yang belum bisa melakukan yang terbaik sehingga mereka juga menunjukkan yang terbaik buat kita.
Ok,
akhirnya dapat juga bukunya mba Ika Natassa. Sempat beberapa kali ke Gramedia
buku ini tidak tersedia. Sekilas melihat sampul depan bukunya, teringat dengan
sampul buku Sabtu Bersama Bapak (edisi lawas) nuansa biru mendominasi hampir
keseluruhan covernyadan infonya sampul depan ini didesain sendiri oleh mba Ika.
Buku
Critical Eleven sendiri resmi terbit di tahun 2015 dan Desember 2016 sudah
masuk cetak ulang yang ke 16.
Salah
satu keunikan dari novel ini selain nomor halaman yang biasanya terletak
dibawah, mba ika menyusunnya di tengah. Sempat bingung nomor apaan ini? Dan
jalan ceritanya sedari awal ketebak juga berasa Abegeh yang beranjak dewasa.
Bahasa inggrisnya nyampur bareng bahasa lokal.
Tapi
bukan gw kalau baca novel yang berkesan ringan dan renyah tapi ngga ngedapetin
kata-kata baik. Halaman awal aja langsung digeber, “Berani menjalin hubungan
berarti berani menyerahkan sebagian kendali atas perasaan kita kepada orang
lain. Menerima fakta bahwa sebagian dari rasa kita ditentukan oleh orang yang menjadi
pasangan kita.”
Sebagai
sosok yang sangat menyukai berada dibandara tapi sedikit sebal dengan terbang
unik juga kepribadiannya.
Bahkan
bandara pun memiliki filosofinya sendiri, bandara mengajarkan kepada kita untuk
memiliki tujuan. Baca aja disetiap tiket setidaknya ada tujuan yang tertera.
Sama seperti hidup kita yang harus memiliki tujuan, setidaknya kata itu yang terekam jelas dari
setiap kelas keuangan yang diberikan mba Ligwina Hananto. Penasaran juga dengan
sosok itu?
Ligwina Hananto sendiri adalah perencana keuangan kawakan. Bersama dengan beberapa rekannya ia merintis QM Financial pada tahun 2005. Banyak buku dengan tema keuangan yang telah ia terbitkan rupanya.
Ligwina Hananto (sumber gambar :Youthmaual.com) |
Yang
seru itu pas dihalaman 56, ketika ayah Ale yang melakukan pencarian didunia
maya bagaimana cara menyeduh kopi ala barista Matt Perger. Filosofi kopi dalam memilih pasangan ada
juga, kita memilih pasangan seperti memilih biji kopi yang terbaik. Bukan salah
mereka (baca:pasangan) jika rasanya kurang enak. Salah kita yang belum bisa melakukan
yang terbaik sehingga mereka juga menunjukkan yang terbaik buat kita.
Kisah
Aldebaran dan Tanya menjadi menarik jika disimak lebih dalam. Tahu ngga kenapa
judulnya Critical Eleven. Saya mulai mengait-ngaitkan setelah selesai membaca
beberapa bab diawal. Tanya yang memang
cinta berat dengan dunia penerbangan mahfum benar 11 menit yang mmenentukan
dalam dunia penerbangan. 3 menit di awal menuju take off dan 8 menuju ketika landing.
Siapa sangka ia berjodoh dengan penumpang sebelah tempat duduknya. Awalnya
mungkin inilah 11 menit atau 11 jam atau 11 bulan yang akan diceritakan.
Memang
sih, hubungan mereka berlanjut ke jenjang
pernikahan. Sotoynya saya tentang critical eleven belum terjawab sebenarnya.
Dan memaksa untuk terus menyelesaikan novel sebanyak 344 lembar halaman.
Perjalanan
biduk rumah tangga mereka tidak semulus yang dibayangkan. Tapi sosok Tanya bukanlah
sosok wanita mudah menyerah. Hobi membacanya luar biasa, baik buku lokal atau
international. Semua itu demi memperkokoh pemikirannya, seperti dihalaman 99, ia
mengutip sebuah buku The Once and Future King karya TH White dimana ada adegan
Merilyn menasehati King Arthur muda,
The Best thing for being sad is to learn something. That is the only thing that nevel fails. You may grow old and trembling in your anatomies, you may lie awake at night listening to the disorder in your veins. You may miss your only love, you may see the the world about you devastated by evil lunatics or know your honour trampled in the sewer of baser minds. There is only one thing for it then-to learn. Learn why the world wags and what wags it.
Semakin
dalam membacanya ikut terhanyut oleh konflik yang ada diselingi tutur kata yang
kadang gaul banget trus kembali ke formal atau bahasanya pun campur-campur
antara bahasa kita dan bahasa Inggris.
Tapi
setidaknya Tanya sudah mengenalkan saya ke Bakmi Tiongsim di Medan (saya
sendiri yang ke medan beberapa kali ngga ngeh ada bakmi Tiongsim) atau Warung
Bu Oka di Bali. Tapi untuk yang muslim Tanya berpesan agar tidak menyambanginya.
Sumber gambar : Anggi Alfonso |
Disisi
lain, Ale yang sedikit banyak juga ikutan terluka mencoba menemukan filosofinya
sendiri, ujian keimanan seorang laki-laki itu bukan waktu dia digoda oleh uang,
perempuan, atau kekuasaan seperti banyak yang dikatakan orang. Ujian iman itu
adalah ketika yang paling berharga dalam hidup laki-laki direbut begitu saja, tanpa
sebab apa-apa, tanpa penjelasan apa-apa kecuali bahwa itu memang sudah suratan
takdir (halaman 121).
Di moment
lainnya, saya merasa diajak Ale dan Tanya menikmati romantisme Newyork, sekedar
duduk di Bryant Park, naik Q Train ke Coney Island atau bermain Cylone di Luna
Park.
Konflik
Anya dan Ale yang menjadi cerita kuat sepanjang Novel mengaduk-aduk perasaan.
Bryan Park NYC |
Bahkan
ketika Anya memutuskan meninggalkan Ale, yang membuat Ale hampir copot
jantungnya. Siapa sangka itu adalah skenario dari keluarga besar Ale untuk
memberikan kejutan spesial ulangtahunnya.
Jakarta
di mata Anya dan Ale pun menjadi sebuah cerita yang berkesan. Iya, Jakarta yang
menyimpan banyak rahasia. Rahasia seorang ayah yang disambut layaknya seorang
pahlawan oleh anaknya waktu membawa sepasang seragam sekolah baru demi menggantikan
seragam yang sudah usang dan lapuk. Sementara sang ayah hanya dapat tersenyum
getir mengingat ibu tua dipasar yang berhasil dirampoknya demi membeli seragam
baru buat sang anak (halaman 150).
Jakarta
yang pernah ditahbiskan oleh Jurnalis asing sebagai kota ke tujuh yang paling
dibenci didunia. Jakarta pula yang menyimpan manis cerita romantis mereka.
Nah
sampai di bab 19 halaman 202 tempo membaca sudah mulai kurang. Konflik belum
menemukan titik terang sedikit bosan memang. Meskipun hubungan Ale dengan
ayahnya berangsur-angsur membaik.
Semakin
mendekati halaman terakhir tempo membaca kadang turun kadang naik seperti alur
cerita yang semakin cepat atau terkadang melambat kembali.
Demi
menghitung semua hari demi hari pertemuan dan kebersamaan Ale dan Tanya. Setiap
konflik yang belum terpecahkan dan menemukan jalan buntunya. Ketika sebuah
kebersamaan menjadi sebuah keterasingan sendiri menjadi alur ceritanya.
Terakhir,
Ale tersadar dengan ungkapan dari bapak penemu teori relativitas yang berujar
Everything that can be counted does not necessarily count, everything that
counts cannot necessarily be counted. Albert Einstein.
Harapan
versi layar lebarnya.
Sebenarnya
lebih penasaran dengan versi layar lebarnya yang akan segera dibuat. Pastinya
filmnya akan sarat dengan kota-kota dunia yang pernah mereka kunjungi bareng.
Atau buku yang sering dibaca hingga lagu yang didengar dan pastinya film yang
Ale dan Tanya saksikan bareng.
Karena
kalau sekedar dibuat sederhana dan asal. Khawatir seperti judul bukunya Critical
Eleven yang misterius tentang apa sebenarnya yang terjadi menjadi sedikit
hilang. 11 yang menjadi titik kritis.
11
yang merubah seluruh jalan hidupmu? 11 kebersamaan bersama dirimu atau 11 – 11
lainnya yang berseliweran dikepala penikmatnya kelak.
kayaknya bagus tuh...
BalasHapusMemang bagus kakang prabu
HapusSaya belum baca bukunya. Baca review ini membuat saya sedikit menemukan titik terang. Semoga suatu hari nanti bisa baca dan kebeli bukunya.
BalasHapusSemoga bisa baca langsung bukunya mba
HapusAlur ceritanya bagus banget. :)
BalasHapusMemang bagus kok
Hapus