Miris, satu kata yang terlintas di benak saya ketika menyaksikan berita ini. Bagaimana bisa di sebuah negara yang konon kabarnya banyak orang suci yang tinggal di sana, dan merupakan salah satu tempat yang di jadikan tujuan wisata rohani. Tetapi masih tetap memperlakukan hukuman pancung / Qissas. Untuk menghukum orang yang menurut mereka sudah melakukan tindak kejahatan yang berat. Dan eksekusi qisas ini dilakukan di hadapan orang banyak tanpa ada pendampingan dari sanak saudara, dan yang paling parah tidak ada perwakilan dari Kedutaan Besar (untuk korban yang bukan warga negara bersangkutan).
Tidak habis logika saya untuk berfikir, apakah kesalahan dari Ruyati ini? Katakanlah dia bersalah, apakah dia tetap tidak berhak untuk mendapatkan pendampingan atau minimal perwakilan dari Kedutaan Besar Indonesia. Sejahat itukah sehingga Ruyati tetap tidak bisa untuk mengatakan kata / pesan - pesan terakhir kepada keluarga yang di cintai.
Dan Apakah dengan menghukum Pancung Ruyati akan menyelesaikan masalah yang sudah terjadi? Bukankah kejahatan yang dibalas kejahatan akan menimbulkan sebuah kejahatan lainnya.
Bahkan Teroris yang sudah dinyatakan bersalah di Indonesia, yang sudah membunuh ratusan atau bahkan ribuan orang yang tidak berdosa. Tetap di perlakukan sebagaimana mestinya, tidak di Pancung tetapi di tembak, tidak di depan khalayak ramai tetapi di sebuah tempat yang di Rahasiakan.Dan Prosesnya pun sangat panjang (Negara Indonesia Mayoritas Muslim juga loh).
Apakah kejahatan yang dilakukan Ruyati sudah melebihi para teroris di negri kami, kalaupun dia membunuh pastilah dia punya alasan tertentu. Dan tanpa mengesampingkan perasaan korban, apakah keluarga korban juga menginginkan hal ini tetap dilakukan terhadap Ruyati (Tanya kedalam Hati Nurani Keluarga Korban)
Semoga ini menjadi pelajaran yang berarti bagi kedua belah Negara bahwasannya masih banyak jalan keluar lainnya selain menjalani hukuman qisas ini.
Indonesia dituntut untuk dapat mengirimkan Tenaga Kerja yang berkualitas, sehingga masalah - masalah yang mungkin terjadi dapat di minimalisasi.
Dan untuk Negara Arab, sebaiknya melakukan koordinasi dengan pihak Indonesia, jika menyangkut pelanggaran berat yang dilakukan oleh Tenaga Kerja Indonesia. Perjelas the do's and the Dont's (yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan) dalam MOU.
Sehingga tidak hanya memberlakukan sanksi yang tegas terhadap Tenaga Kerja yang melanggar MOU tetapi juga menindak tegas warga negara Arab yang berlaku kasar dan tidak senonoh terhadap tenaga kerja kita.
Lalu untuk para Tenaga Kerja kita, sebisa mungkin urungkan niat untuk bekerja di Negara Orang lain jika memiliki kemampuan yang tidak cukup baik. Modal nekat saja tidak cukup baik, masih diperlukan modal - modal yang lain, seperti modal bahasa yang cukup, modal dana yang tidak sedikit. Toch di negri sendiri masih tersedia beberapa jenis lapangan pekerjaan tertentu (meskipun penghasilannya tidak sebanding jika bekerja diluar ya).
Untuk Para Wakil Rakyat kita, ada baiknya mulai berfikir bagaimana caranya meningkatkan lapangan kerja di negara kita sendiri, sehingga tidak membuat warganya mencari nafkah di negara orang lain. Apalagi di negri kita yang konon katanya Gemah Ripah Loh Jinawi, bahkan katanya batu pun bisa menjadi tanaman. Lalu mengapa rakyatnya tetap gemar melancong ke negri orang ya......