“Bukankah Fakir mIskin dan anak – anak terlantar dipelihara oleh negara”
Minggu ini adalah awal dimana anak – anak sudah mulai kembali memasuki sekolahnya masing – masing. Sekolah baru dan perlengkapan serba baru, baik itu tas sekolah, seragam seolkah hingga ke perlengkapan alat tulis. Tak pelak lagi semenjak anak – anak sekolah sudah mulai memasuki tahun ajaran baru, jalanan pun semakin bertambah padat,kemacetan semakin berambah. Pfuuuu,,,, Parah
Berbeda dengan seorang bocah, joki 3-1 yang biasa beroperasi di sekitaran Jl. Soedirman. Namanya M Fariz, usianya kurang lebih 14 tahun. masih terlihat kepolosan di wajah anak ini. kami bertemu dengan bocah ini ketika menggunakan jasanya sebagai joki. Saya dan istri pun mencoba bertanya – tanya kepada bocah ini apa sich yang menjadi motivasinya ?
Rupanya Fariz adalah anak pertama dari 4 bersaudara, dan dia merupakan anak yang tertua, sementara itu adik – adiknya masih pada kecil – kecil. Ibu dan bapaknya hanya bekerja serabutan, seperti menjadi upahan untuk mengikuti demo. bisa dikatakan pekerjaan orangtuanya tidak ada yang tetap. Fariz pun hanya menyelesaikan sekolahnya hingga kelas 6 SD saja, bayangkan kelas 6 SD untuk anak yang tinggal di kota besar jakarta. Harus putus sekolah dikarenakan tidak ada biaya lagi.
Baru Sebulan ini Fariz menekuni dunia perjokian, itu pun atas ajakan teman – temannya yang sudah lebih dulu merintis usaha ini. Sebelumnya bocah ini bekerja di konveksi, entah kenapa juga dia berhenti dari konveksi. Menurutnya upah menjadi Joki lumayan dari pada tidak melakukan aktivitas apapun dirumah, dan menjadi Joki tidak dituntuk untuk memiliki keahlian khusus, hanya pasang badan dan tangan saja.
Sekali jalan minimal Rp 7.000 perak lalu searah jalan pulang Rp. 7.000 perak , sedikitnya Rp. 14.000,- sudah dia dapatkan (jika beruntung) dan itupun di kalikan 2, dengan asumsi pagi dan sore. Jumlah segitu menurut bocah ini sudah lumayan besar. bahkan terkadang jika selesai menjadi joki dan tidak mendapat kendaraan joki untuk pulang. Faris relan berjalan kaki pulang, dia lebih relah badannya letih dibandingkan harus membayar ongkos angkutan umum.
Lalu kenapa dia tidak melanjutkan sekolahnya? hal ini semata murni karena biaya menurutnya. Loh, bukankah seharusnya pendidikan sudah gratis hingga kelas 12. Dia pun berkelit, itu mungkin sekolah negri pak, kalau saya sekolah swasta, jadi tidak sanggup. Masuk negri tidak diterima. Dan kalaupun masuk negri bocah ini sangsi jika ada sekolah yang gratis. Gimana uang bukunya? pastilah ada uang ini itunya? waduh miris mendengar anak berusia 14 tahun berkata seperti ini. dan dikita besar pula, kenapa hal ini bisa terjadi. Jika di kota terpencil, bisa dikatakan jauh dari pusat kota dan ketinggalan informasi. Nah ini di kota besar, dan ibukotanya Indonesia.
Masih ada anak 14 tahun yang lebih senang mencari uang, dibandingkan mengejar ilmu. Kami bertanya lagi. Ga takut di tangkap polisi atau jangan – jangan sudah pernah ditangkap polisi? ”untungnya belum pernah ditangkap polisi “kilahnya. Tapi menurut cerita temannya yang sudah pernah ditangkap, palingan hanya akan di masukkan ke panti di daerah kedoya “katanya” sebulan kemudian dilepaskan lagi. Dan sudah di pastikan akan kembali menjadi joki lagi.
Hmmmm, kalu sudah mengalami sendiri hal ini, saya pun menjadi bingung, Bukankah ada di Undang – Undang Dasar bahwa fakir miskin dan anak terlantar di pelihara oleh negara. Lalu kenapa Fariz bocah berusia 14 tahun ini berkeliaran demi bertahan hidup. bukankah harusnya hal ini adalah yang dipikirkan oleh bocah ini nanti di kemudian bukan saat ini,
Mungkin hal ini harus menjadi perhatian bagi siapun yang nantinya menang dan menjadi Gubernur di Jakarta. Tidak hanya masalah kemacetan dan banjir yang perlu diurusi. Masyarakat marginal pun perlu diperhatikan, tidak hanya menyalahkan faktor urbanisasi saja, cari solusi yang konkrit. sehingga fariz-faris yang berkeliaran di jalan bisa diminimalisasi.