Ini merupakan ringkasan atas sebuah artikel yang saya baca diharian kompas. Berikut petikannya, berdasarkan KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana), untuk dapat melakukan suatu proses penyitaan diperlukan beberapa prosedur, salah satunya surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri. Hal ini dikecualikan bagi pelaku Tindak Pidana Korupsi yang tertangkap tangan.
Berbeda sedikit dengan UU KPK pasal 47 yang menyatakan penyitaan dapat dilakukan hanya berdasarkan bukti permulaan yang cukup, dan tanpa izin dari Ketua Pengadilan negri.
Lalu, apa sajakah yang boleh disita, berikut ada 3 hal yang perlu diperhatikan :
1. Instrument Sceleris : Penyitaan terhadap barang yang digunakan untuk melakukan Tindak Pidana Korupsi.
2. Objectum Sceleris : Penyitaan terhadap objek yang berhubungan dengan Tindak Pidana Korupsi.
3. Fractum Sceleris : Penyitaan terhadap hasil tindak pidana Korupsi.
Dalam hal Fractum Sceleris harta yang disita memiliki nilai serupa/sama dengan uang yang didapat dari hasil korupsi. Tetapi dalam hal ini KPK dapat menyita lebih dari yang disangkakan kepada tersangka Korupsi. Dengan alasan yang digunakan adalah harta yang didapat diduga dari hasil korupsi. Hal ini dapat dikembalikan kepada tersangka jika ia mampu membuktikan bahwa harta yang dimaksud didapat bukan dari hasil sangkaan korupsi yang dituduhkan terhadapnya.