Go ojek yang bergerak dalam bidang penyedia
layanan antar menggunakan motor ke berbagai tujuan sedang marak sekali di
Jakarta. Hingga akhirnya terjadi pertikaian antara Go ojek dengan ojek
konvensional. Alasan yang terlontar sepele, rebutan lahan penghasilan.
Kedatangan go ojek mengurangi penghasilan ojek yang sudah lebih dahulu
beroperasi.
Sementara dari kacamata konsumen,
kehadiran Go Ojek sangat membantu setidaknya membuat pilihan moda transportasi
semakin berada dalam genggaman.
Beberapa waktu lalu ketika menggunakan
mode transportasi kereta, saya sempat menggunakan jasa ojek konvensional. Dari
stasiun pasar Minggu menuju Rumah Sakit Pondok Indah. Pak Agus nama pengendara
Ojek Konvensional itu.
Beliau menuturkan dalam sebulan
penghasilan yang ia dapatkan minimal sekitaran 3 jutaan. Sudah bersih dan sudah
dipotong biaya operasional sehari-hari dan biaya perawatan motor. Dengan
penghasilan itu pak Agus mampu untuk menghidupi seorang istri dan 3 orang anak. Sekarang anak yang paling
besar sudah duduk di kelas SMA, sementara paling kecil masih duduk di sekolah
dasar.
P. Agus (dok. pri) |
Beliau yang merupakan perantauan dari
Surabaya dan sudah menekuni Ojek sekitaran 3 tahunan, menceritakan sedikit
keberhasilannya. Setidaknya dari hasil mengojek ia sudah mampu melunasi motor
dan membiayai keluarganya. Dari ojek pula pak Agus mampu untuk dapat pulang kampung
setahun sekali atau sesuai kebutuhan. Kedepan ia berharap mampu
memboyong anak istri untuk hidup di Jakarta bersamanya.
Saya beranikan untuk bertanya
pendapat beliau mengenai kehadiran Go Ojek. Awalnya memang beliau sangat keberatan
dengan kehadiran Go Ojek yang ditenggarai akan mengurangi penghasilannya. Tapi
ia mengakui belum mengerti benar arti keberadaan Go Ojek.
Saya mencoba memahami dari sudut
pandang beliau. Hingga pak Agus sedikit salah arah menuju rumah sakit pondok
indah dan saya mencoba membantunya dengan menggunakan aplikasi map (peta) yang
ada di smartphone.
Ia menduga pastinya sulit menggunakan aplikasi peta dan pastinya harga teleponnya mahal. Pak Agus langsung menanggapi bahwa ia sudah tua dan tidak mengerti dengan segala perangkat tadi. Pelan-pelan sambil menunjukkan arah sebenarnya ke tujuan, saya mencoba menjelaskan semampunya.
Setelah sukses sampai di tujuan dengan
bantuan peta dari aplikasi smartphone, sekilas dari matanya menatap kagum
dengan perangkat yang saya gunakan.
Seandainya pak, saya bertanya ke
beliau, ada yang mau mengajari bapak menggunakan alat ini. Apakah pak Agus mau
menggunakannya, sebenarnya ini konsep sederhana dari Go Ojek pak. Dengan
bantuan alat ini bapak bisa menjumpai konsumen di manapun tanpa perlu menunggu
di pangkalan lagi.
Tetap kekhawatiran beliau jika
gagal menggunakan aplikasi yang ada dan tidak mendapat penumpang bagaimana
nasib ia dan keluarganya. Jika dengan menggunakan aplikasi di telp genggam akan
semakin banyak mendatangkan konsumen yang menggunakan jasanya ia tidak
keberatan sebenarnya.
Kesimpulan terakhir sebelum saya membayar jasa beliau yang sudah berbaik hati mengantarkan, ia mungkin akan mau menggunakan aplikasi di smartphone selama ada yang mendampingi dan alat pendukungnya bisa dijangkau kantongnya serta mampu mendatangkan konsumen lebih lagi.
Lalu bagaimana jika Go Ojek mampu
menyediakan atau setidaknya menjawab beberapa keraguan pak Agus, apakah pak Agus
masih ragu untuk bergabung dengan Go Ojek. Ia hanya tersenyum, tidak menjawab
iya ataupun tidak. Sambil menerima ongkos ia pun berlalu dan berkata
sampai jumpa lagi.
Dari percakapan sederhana
dengan pak Agus, meskipun tidak mewakili keseluruhan dari ojek konvensional.
Dapatlah ditarik kesimpulan, perbedaan yang terjadi bukan karena rebutan lahan penghasilan
tapi lebih kepada ketidaktahuan pemanfaatan teknologi yang ada, sementara tidak
ada yang mendampingi dan memberikan pengetahuan lebih. Jadilah yang satu iri
akan keberadaan yang lain.
Mungkin hasilnya akan berbeda
jika diadakan sosialisasi sedari awal sebelum munculnya perbedaan sudut
pandang. Memang pastinya akan selalu ada perbedaan sudut pandang, tapi
setidaknya perbedaan itu tidak meruncing dan menjadi pemicu untuk memulai pertikaian
yang dimanfaatkan dan diinginkan oleh segelintir pihak.
Selamat malam.