Suku Karo yang tinggal di pegunungan Sinabung dan Sibayak |
Suku Karo, salah satu suku yang
tinggal di bawah kaki Gunung Sinabung dan Gunung Sibayak. Suku Karo merupakah bagian dari suku Batak. Batak
sendiri terbagi menjadi 5 yaitu, Batak Toba, Batak Mandailing, Batak
Simalungun, Batak Karo dan Batak Pak-Pak. Beberapa kalangan mendebat bahwa Suku
Karo bukan bagian dari Suku Batak yang sudah ada. Tapi bukan itu yang akan kita
bahas.
Suku Karo hampir sebagian
besar tinggal di sekeliling perbukitan yang subur dan hijau. Sebagian besar
penduduknya hidup dari hasil pertanian. Budayanya juga unik. Mulai dari
Bahasa yang biasa di sebut Bahasa Karo, Tarian, baju adat yang didominasi warna
merah, Uis Nipis untuk kaum perempuan dan Beka Buluh untuk kaum pria, hingga arsitektur
rumah adatnya, Rumah Geriten dan
yang dihuni 8 keluarga.
Rumah Geriten
Yang hendak saya coba angkat kali ini
adalah Rumah Geriten (rumah tengkorak).
Saat ini sudah hampir punah. Rumah yang biasa digunakan untuk
menyimpan tulang belulang bagi suku karo yang sudah meninggal. Beruntung saya
sempat melihat langsung dan mendokumentasikan rumah geriten yang tersisa di desa Lingga
waktu berkunjung ke Tanah Karo beberapa waktu lalu.
Rumah Geriten yang masih ada di desa Lingga |
Rumah Geriten juga berbentuk
seperti rumah adat
tetapi bentuknya jauh lebih kecil dan mempunyai empat sisi. Rumah Geriten
berdiri di atas tiang, mempunyai dua lantai. Lantai bawah tidak berdinding
sedang lantai di atasnya berdinding. Di lantai yang bawah ini terdapat sebuah
pintu. Dan dari pintu inilah dimasukkan kerangka orang yang telah meninggal. Rumah Geriten berfungsi untuk menyimpan
kerangka atau tulang-tulang sanak keluarga pemilik Rumah Geriten yang telah
meninggal di bagian atasnya sedangkan bagian bawah merupakan tempat duduk atau
tempat berkumpul bagi sebagian warga, terutama kaum muda.
Rumah Geriten juga digunakan sebagai tempat bertemunya laki dan perempuan untuk saling mengenal |
Meskipun berhubungan dengan
tulang belulang dan kematian, tapi jauh dari kesan mistis. Karena Rumah Geriten
yang ada masih digunakan sebagai tempat bertemunya para pemuda untuk saling
mengenal.
Rumah adat Siwaluh Jabu
Rumah adat karo biasa
di sebut Siwaluh Jabu, namanya diberikan karena Rumah ini dapat menampung
kisaran 8-10 keluarga didalamnya. Memilliki ciri serta bentuk yang sangat
khusus, didalamnya terdapat ruangan yang besar dan tidak mempunyai kamar-kamar
(sebagian sudah dibagi menjadi kamar-kamar).
Rumah Adat Siwaluh Jabu |
Rumah adat Siwaluh
Jabu berupa rumah panggung, tingginya kira-kira 2 meter dari tanah yang
ditopang oleh tiang (ruang kosong ini biasa digunakan untuk kandang ternak atau
tempat menyimpan kayu), Tiang penopang umumnya berjumlah 16 buah dari kayu
ukuran besar.
Rumah ini mempunyai
dua buah pintu, satu menghadap ke barat dan satu lagi menghadap ke sebelah
timur. Di depan masing-masing pintu terdapat beranda, biasanya terbuat dari bambu-bambu bulat yang disusun rapi
(disebut ture). Ture ini digunakan untuk tempat bertenun, menganyam tikar atau
pekerjaan lainnya, pada malam hari ture atau serambi ini berfungsi sebagai
tempat naki-naki atau tempat perkenalan para pemuda dan pemudi untuk memadu
kasih.
Rumah siwaluh Jabu saat ini sudah menjadi obyek wisata ketimbang ditinggali sebagai rumah tinggal |
Atap rumah Siwaluh
Jabu dibuat dari ijuk. Pada kedua ujung atapnya terdapat anyaman bambu
berbentuk segitiga, disebut ayo-ayo. Pada puncak ayo-ayo terdapat tanduk atau
kepala kerbau dengan posisi menunduk ke bawah(tanduk kerbau diyakini masyarakat
karo sendiri sebagai penolak bala)
Uniknya Rumah
Siwaluh Jabu adalah terbuat dari kayu dan hanya diikat dan saling dikaitkan
antara satu kayu dengan kayu lainnya, Tidak ada unsur paku dan besi di dalamnya.
Bahkan konon kabarnya membuat satu rumah adat ini diperlukan waktu yang
tidak sebentar dan orang yang tidak sedikit.
Bagian dalam Ruma Siwaluh Jabu serta bagian dapur yang coba diterangkan maknanya |
Didalam Rumah adat ini juga terdapat dapur. Dapur
bagi masyarakat Karo juga mempunyai arti seperti Tungku tempat menaruh alat memasak, terdiri
atas lima buah batu, kelima batu menandakan adanya lima marga besar dalam suku karo yang mendiami Lingga, yakni Karo-Karo,
Ginting, Sembiring, Tarigan, dan Peranginangin.
Bagian Bawah biasa diguakan sebagai kandang ternak atau tempat menyimpan sesuatu |
Pada saat dahulu, keberdaan Rumah
adat Siwauh Jabu menunjukkan strata ekonomi golongan tertentu. Sebab semakin
besar dan semakin banyak yang mendiami rumah adat ini menandakan siempunya
mampu menjaga kekerabatan yang ada dan akan mampu saling melindungi jika ada
serangan dari luar.
Pun berlaku sama dengan Rumah Geriten,
keberadaan dan kemewahaanya menunjukkan tingkat kemapanan seseorang.
Tapi sepertinya arsitektur ke dua
rumah adat ini semakin tergerus jaman. Selain semakin sulitnya menemukan bahan
untuk membangun rumah adat. Serta sedikitnya generasi muda yang tertarik untuk
tinggal dan meneruskan tradisi yang ada.
Tetapi dengan adanya desa Lingga
setidaknya saya dapat mengetahui masih ada Rumah adat Siwaluh Jabu yang terjaga
kelestariannya dan beberapa rumah Geriten yang sengaja dilestarikan agar generasi muda masih dapat menyaksikan langsung dan menyentuh
serta membayangkan kehidupan suku Karo sebelumnya.
Pintu Masuk Desa Lingga yan masih kental dengan budaya suku Karo itu sendiri |
Ornamen dinding rumah siwaluh jabu, Cicak yang panjang dan memiliki makna tersendiri |
Rumah Siwaluh Jabu dari luar utuh keseluruhan |
dulu waktu sekolah pernah dibawa study tour ke tempat ini. keren memang tempatnya
BalasHapuswah mba momo sudah ke desa lingga juga.. sekarang semakin tambah keren tentunya :)
Hapustempatnya bagus
BalasHapusmemang bagus kok mas ... bagus banget malah :)
HapusWiiih. Makasih Bang Lius sudah diajak jalan-jalan menelusuri peninggalan adat Batak Karo. Membayangkan betapa harmonisnya kehidupan di Rumah Adat Siwaluh Jabuh deh...
BalasHapussama sama mas.. setidaknya mas dhani jadi lebih tahu sedikit tentang Suku Karo .. Rumah adatnya siwaluh jabu dan rumah geriten (tengkorak)
Hapuswah aku belum pernah ke sana nih bang , mudah-mudahan bisa kesana ya
BalasHapusiya mba lidya fitrian.. saya doakan semoga suatu saat didepan bisa berkunjung ke desa lingga dan menyaksikan langsung :)
HapusIya e, aku nyadar; tiap ada teman dari Batak karo pati bilangnya; saya dari Karo. Salamnya beda kan?? Ada yang Horas dan Majuajua tah apa gitu :-D
BalasHapusIya mas.. kalau batak Toba identik dengan HORAS sementara KARO identik dengan MEJUAH-JUAH..
HapusSaya belum pernah ke daerah Sumut,
BalasHapusDesa Lingga memelihara rumah adat dan rumah geritang,
blog reportase ini menyampaikan lagi, hingga pembaca merasa ikut berkunjung ke tanah Karo.
semoga mba winnaz bisa berkunung dan menikmati langsung rumah adat karo dan geritennya :)
Hapusrumahnya macem macem ya sesuai dengan fungsinya. mudah2n tetap terjaga sehingga bisa dilihat terus sampai kapanpun
BalasHapusSaat ini memang masih ada desa lingga mas yang berupaya melestarikan dan menjaga rumah adat yang tersisa... semoga ke depan mereka terus konsisten menjaganya...
Hapusaduh bagus bangeeeet rumahnya , mudah2an banyak yg mempertahankan jangan sampai punah
BalasHapusmemang bagus dan unik bentuknya mba Tira...harapan saya sama dengan Mba Tira.. semoga desa lingga mampu menjaga dan melestarikan rumah adat siwaluh jabu ini ya :)
HapusBaru tau ada batak pak pak ... temen2 gw kebayakan karo atau toba
BalasHapusBtw kmrn sempet berkunjung ke rumah itu di berastagi
aih..udah sampe ke berastagi aja abang ini.. mantab kian...
HapusSemoga suatu saat saya bisa kesana hehe
BalasHapussaya doakan dari sini mba titis :)
HapusBermanfaat Sekali Tulisanya bang.
BalasHapusSyukurlah kalau bermanfaat.. kan sudah seharusnya tulisan yang kita buat bermanfaat
HapusWAH, nggak bisa bayangkan gimana rasanya duduk di rumah Geritan. Saya bacanya tengah malam sambil merinding cuma bayangin duduk di sana saja.
BalasHapusTapi kalau adat ya nggak takut ya.
Nah itu dia kak...kalau saya sich tetep aja takut tuch...hehehe
HapusUnik sekali rumahnya. Sayang sekali kalau tidak dilestarikan. Pemerintah daerah hendaknya menggalakkan pelestarian ini. Ini juga bisa jadi aset wisata.
BalasHapusIya kak.. harus dilestarikan kalau ga..nanti hilang dan musnah.. kasihan generasi berikutnya
HapusTempatnya bagus banget kak
BalasHapusMemang bagus kak..masih asri tepatnya
HapusMenarik sekali ceritanya, saya sangat suka sekali dengan budaya. Semoga suatu saat bisa kesana. Btw mas Kornelius Ginting juga berasal dari suku Karo ya?
BalasHapusIya kak..kebetulan aku dari tanah karo (orang tua tepatnya) ginting marga ku kak...
HapusWaduuhh saya jadi pengin langsung terbang ke sana bang.. itu serius geriten buat simpan tulang-belulang? Kok saya merinding yaa.. tp hati penasaran..
BalasHapusGitu katanya kak helmi..tapinsayabsecara langsung liat tulang belulangnya sich belum pernah ya
HapusDan dari pintu inilah dimasukkan kerangka orang yang telah meninggal. Nah sebelum jadi kerangka/tulang, jasadnya disimpan di mana bang? Atau dikubur dulu? Atau setelah meninggal langsung dimasukkan di sana?
BalasHapusBeberapa dikubur dulu kak sampai ada rumah geritennya dibuat
Hapusnuansa etniknya kental sekali. saya suka sekali dengan tempat-tempat seperti itu. selain menarik, juga menambah wawasan kearifan lokal
BalasHapusYup sama kak..sekalian berke alan dengan budaya dan sejarah suku karo
HapusSekarang memang rumah adat lebih banyak digunakan jadi objek wisata ya. Sudah jarang yang bangun. Mungkin karena pembuatan rumah ada tergolong lebih rumit dibanding rumah biasa masa kini.
BalasHapusDan juga lebih rumit dan keterbatasan bahan juga sich kak.. terlebih tampilannya ga minimalis seperti yang disukai saat ini kak
HapusBang Iyus kalo kami main ke kaban jahe masih sering nampak rumah adat kayak gini bang. Di tanah Karo makin Banyak sekarang tempat wisata ya bang.
BalasHapusSering ke kaban jahe juga kak... dan iya sekarang udah banyak wisata di tanah karo
HapusMembayangkan ada di sana aja udah seneng banget. Apalagi bisa kesana beneran yaah. Selama ini belum pernah sekalipun menjejakkan langkah di Sumatra. Ah keren. Suatu hari harus bisa kesana
BalasHapusAmin...saya doakan nyampe menjejakkan kaki di sumatra
HapusGeriten atau rumah tengkorak itu apakah juga ada di suku Batak yg lain bang Iyus? Misalnya suku Batak Toba, Simalungun, Pak-pak, Mandailing, apa nama lainnya
BalasHapusMungkin ada kak..tapi namanya berbeda (kali ya)
HapusPengin deh main kesana mengunjungi rumah adatnya ditemani hangatnya kearifan budaya lokal daerah tersebut.
BalasHapusSambil membayangkan kehidupan dulu itu seperti apa ya kak
HapusSelalu menarik mempelajari adat istiadat di Indonesia, Bersykur memiliki beragam adat istiadat yang kaya akan filsafat luhur, pandangan hidup mulia orang zaman dulu. thanks sharingnya kak
BalasHapusIya kak sita dan semoga ini menjadi peninggalan kita untuk generasi berikutnya dan berikutnya lagi
HapusKondisi masyarakat di sana gimana bang? Masih adakah yang tinggal di dalam rumah dengan arsitektur tradisional itu? Kalo ya, wah, bisa jadi desa wisata ya di sana.
BalasHapusNah itu dia kak..kalau di desa wisata masih ditempati sebagian..sebagian lagi udah dijadikan museum
HapusBanyak kearifan lokal di sana ya kak. Tentang rumah tengkorak, apa gak seeeram tu ya?
BalasHapusKalau menurut saya serem kak..tapi merrka biasa aja tuch kak
Hapuswah aku banyak baru tahunya tahun lalu cuma lihat2 aja di tmii replika bbrp rmh adatnya. eh jadi banyak tahu abis baca blog abang.
BalasHapusIni juga masih cuplikan kecilnya aja kak.. masih banyak lainnya yang saya juga sebenarnya ga tahu. . Ini lagi coba disusun biar paham ttg budaya dan suku karo sich kak
HapusWaduhhhh... Aku bacanya jadi ada ngrasa serem2nyaaa.. Mas gak takut atau deg deg an apa gtu pas kesana?
BalasHapusTapi unik sih ya kearifan lokal begini...
Engga takut kak..kan siang hari dan ramai2 pula . . Heheh
Hapus