Apabila hendak membuat sumbangan baru, kita harus juga membuat persiapan yang serba baru.
Setelah beberapa waktu lalu menulis tentang ballpoint yang ada sangkut pautnya dengan Covey dan mendapatkan sebuah ballpoint Franklin Covey. Jadi terlintas untuk menyelesaikan sebuah buku bacaan yang belum selesai tuntas dibaca.
Penulisnya sendiri Stephen. R.
Covey, sudah meninggal beberapa tahun lalu. Beliau sendiri dikenal sebagai
penulis “the 7 habbits.”. Buku wajib bagi penikmat manajemen sumber daya
manusia. Seinget saya tahun 2006 saya
sudah tahu dan baca bukunya. Baru pada tahun 2010, tepatnya 6 Mei di Gramedia
Depok, saya menyempatkan membeli The 8 Habbit, Melampui Efektivitas dan
Menggapai Keagungan. Baca seluntas sudah
selesai, rasanya terlintas untuk membacanya pelan-pelan dan menikmati setiap
pengajaran dari Stephen. R. Covey ini.
Di halaman cover Stephen
menjelaskan 8 Habbit mengajak kita untuk memperhatikan kebutuhan orang-orang
disekitar kita, untuk melampui efektivitas dan meraih kesuksesan. Kedua hal ini
dapat diraih dengan melakukan 4 peran kepemimpinan, yaitu 1. Menjadi Anutan (Panutan), 2. Menjadi
Perintis Jalan. 3. Menjadi Penyelaras, 4. Menjadi Pemberdaya. Sehingga Stephen
menegaskan bahwa kita akan menemukan panggilan jiwa dan mengilhami orang lain
tentunya dituntun dengan paduan 4 kecerdasan, Kecerdasan Fisik (PQ), Kecerdasan Mental (IQ),
Kecerdasan Emosional (EQ), Kecerdasan
Spiritual (SQ). Jadi semakin prnasaran dengan catatan yang dibuat
Srephen didalam bukunya ini. Mari kita simak.
Kepemimpinan merupakan sebuah
pilihan dan bukan sebuah posisi, Stepehen. R. Covey.
Apabila hendak
membuat sumbangan baru, kita harus juga membuat persiapan yang serba
baru. Kutipan yang membuat Stephen sadar
untuk menjadi pembelajar lebih dari sebelumnya.
Dalam sebuah survey, ditemukan bahwa hanya 1 dari 5 pegawai yang merasa antusias mengenai tujuan tim dan organisasi mereka. Hanya 15% yang merasa bahwa mereka bekerja dalam suatu lingkungan dengan tingkat kepercayaan yang tinggi.
Bahkan hanya 17% yang merasa
bahwa organisasi mereka mendorong komunikasi terbuka yang menghormati gagasan
yang berbeda dimana semuanya bermuara
pada terciptanya gagasan-gagasan yang baru dan lebih baik.
Tentunya survey diatas dilakukan
di negara asal Stephen Covey, dimana kemajuan sebuah organisasi sudah mapan dengan
tingkat pertumbuhan ekonomi diatas rata-rata.
Lalu ia
(Stephen. R. Covey) melempar pertanyaan kepada dirinya sendiri, apakah 7 habbit
masih relevan dengan adanya perubahan keadaan dan lungkungan kerja kita? Jawabannya adalah semakin komplet suatu
keadaan maka semakin relevan keberadaan 7 kebiasaan positif. 7 habbit adalah tentang bagaimana menjadi
sungguh efektif dengan menampilkan kerangka kerja yang komplet dari prinsip-prinsip karakter dan efektivitas
manusia yang universal dan abadi tak terikat pada waktu tertentu.
Nah panggilan kita (pembacanya)
saat ini, yang disebut era baru adalah keagungan, kehebatan (greatness). Kita
dituntut untuk mengejar pemenuhan diri (fullfillment), pelaksanaan yang penuh
semangat (passionate execution), dan sumbangan yang bermakna (significant
contribution). Tentunya dalam mencapai semua hal tadi diperlukan sebuah
perangkat pemikiran baru, keahlian baru, perangkat peralatan baru dan kebiasaan
baru.
Kebiasaan ke 8 dalam buku ini menjelaskan
kepada pembacanya untuk menemukan suara panggilan jiwa sendiri dan mengilhami orang
lain untuk menemukan panggilan jiwa mereka.
Stephen mencoba menjelaskan
secara sederhana habbit ke delapan lebih kepada Suara yang merupakan makna
personal yang unik. Yang jika digambarkan merupakan persinggungan dari Bakat,
Gairah, Kebutuhan dan Nurani.
Intinya adalah jika kita terlibat
dalam suatu pekerjaan yang mendayagunakan bakat dan mengobarkan gairah hidup
serta muncul dari kebutuhan didalam dunia, sehingga kita merasa terdorong oleh
nurani untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka dapat dipastikan disitu letak
suara hati. Suara kita adalah panggilan
jiwa dan arah hidup yang akan memuaskan jiwa.
Pak Stephen mengambil ilustrasi
dari salah satu tokoh dunia, pendiri Grameen Bank, Muhammad Yunus. Penyalur
kredit kecil bagi kaum miskin di Bangladesh. Yang awalnya Yunus tidak memiliki
visi yang jelas, hanya sekedar mengajar teori ekonomi hingga memunculkan visi,
dunia tanpa kemiskinan.
Melampau Efektivitas dan Menggapai Keagungan
Yunus sendiri mengatakan bahwa ia harus meninggalkan pola pandang seperti burung yang hanya melihat segala-galanya jauh dari atas, lebih kepada pola pandang seekor cacing yang berusaha mengetahui apa saja yang terpapar didepan mata, mencium baunya, menyentuhnya dan melihat apakah ada sesuatu yang bisa kita lakukan langsung.
Yunus mampu mengalahkan paradigma
dan pemikiran yang berkembang pada saat itu.
Yoga Sutra dari Patanjali berujar “ketika kamu terilhami oleh suatu
tujuan mulia, suatu proyek yang luar biasa, pikiranmu akan menerjang berbagai
pembatasnya. Pikiranmu akan menembus keterbatasan, kesadaranmu akan meluas ke
segala arah dan kamu akan menemukan dirimu berada didunia yang baru, yang kuar
biasa dan mengagumkan.”
Ini kita masih bicara bab satu
tentang derita, derita ditempat kerja, keluarga, komunitas dan di masyarakat.
Maka kita akan beranjak mengenai
masalahnya.
Iya, bab 2 akan dibahas mengenai
masalah,
Mantap betul bang, saya tunggu bab selanjutnya :)
BalasHapusSip mas :)
HapusWah ilmu nih, makasih bang.
BalasHapusSama sama bang :)
Hapuswah saya jadi pengen beli bukunya mas, di gramedia ada kah?
BalasHapusEh ngga tau kalau sekarang mas... Buku ini saya beli 3 tahun lalu dech. Tapi harusnya sih sebesar toko gramedia masa ngga ada ya.
Hapus