Sosialisasi Pengelolaan Pengaduan Seluruh Pengadilan |
Masalahnya adalah, Pengadilan rasanya masih belum dimuliakan,
masih sering dicaci bahkan diberikan label “Mafia Peradilan”?
Hari pertama
tiba di Surabaya demi mengikuti Sosialisasi dari Badan Pengawasan Mahkamah
Agung langsung digeber dengan materi.
Waktu setidaknya menunjukkan sudah pukul 19.30 WIB, peserta sosialisasi sudah
duduk di kursi masing-masing siap menerima materi yang akan diberikan oleh mantan
Ka. Bawas MARI. Menurut beberapa orang mantan Ka. Bawas ini serupa dengan
malaikat. Jangan coba-coba bermain-main dengan beliau. Hmmm, sepertinya saya mau
dikenang seperti beliau, sebab orang-orang seperti beliaulah nama Peradilan akan
harum.
Ok, langsung
saja nama beliau adalah Ansyahrul, SH, Mhum.
Sesi ilmu yang beliau sampaikan lebih kepada sharing pengalaman selama beliau
memimpin Bawas.
Pengadilan
Tinggi memiliki peranan strategis, perkara yang hendak Kasasi sebelumnya sudah matang di
Pengadilan Tinggi. Dan Pengadilan Tinggi pula yang dituntut aktif dalam melakukan
pembinaan dan pengawasan.
Pa Ansyahrul didepan, saya jauh dibelakang :) |
Menurut beliau,
Mahkamah Agung sendiri unik, Mahkamah
Agung yang berdiri tidak sejajar dengan Lembaga Eksekutif. Sementara Pengadilan
Tingkat Pertama, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung sendiri bukanlah Lembaga Vertikal seperti Kementrian lain (biasanya kementrian lain dikenal
istilah kanwil, kantor wilayah).
Ia mengambil
contoh, Kementrian Keuangan memeriksa laporan keuangan dari Kanwil
masing-masing wilayah, sementara Mahkamah Agung dan jajaran Peradilan
dibawahnya tidak memiliki kantor wilayah.
Pada tahun 1958
hal ini pernah menjadi masalah, apakah Pengadilan Tinggi berhak melakukan
pengawasan ke pengadilan dibawahnya (Pengadilan Negeri Tk I).
Mahkamah Agung
Republik Indonesia melakukan pengawasan
tertinggi dalam melakukan pembinaan dan pengawsan serta berhak melakukan
pendelegasian wewenang.
Illustrasi |
Sementara
Pengawasan Melekat (Waskat) sudah jalan, pengawasan fungsional tingkat banding
tidak diperlukan. Nah masalahnya adalah, Pengadilan rasanya masih belum dimuliakan,
masih sering dicaci bahkan diberikan label “Mafia Peradilan”?
Visi Mahkamah
Agung sendiri adalah Mewujudkan Badan Peradilan Yang Agung. Hal ini tercantum
dalam cetak biru peradilan. Meskipun Mahkamah Agung sendiri tidak memungkiri
masih ada oknum-oknum nakal yang mencoreng citra peradilan.
Beberapa waktu
lalu menurut pak Ansyahrul, Lembaga Ombusman merilis 4 (empat) instansi yang
banyak diadukan oleh masyrakat.
- 1. Instansi yang terkait dengan pertanahan.
- 2. Instansi yang terkait dengan Kesehatan (eg, BPJS)
- 3. Instansi yang terkait dengan Kepolisian.
- 4. Instansi yang terkait dengan Pengadilan.
Setidaknya
menurut catatan beliau, hampir ribuan pengaduan masuk ke Mahkamah Agung
Republik Indonesia (MARI) dan Ombusman dan terus terjadi hingga hari ini.
MARI sendiri
sudah berbuat banyak hal, terakhir ketika reformasi digulirkan. MARI berjuang
menjadi satu atap semenjak tahun 1966. Dan terealisasi dengan TAP MPR No
10 tahun 1998 (butuh puluhan tahun untuk
merealisasikan tap ini).
Langkah yang
dibuat Mahkamah Agung RI sendiri salah satunya adalah dengan membuat
Ketua Muda dimasing-masing pilar peradilan.
Tahun 2006 baru muncul Badan Pengawasan yang akrab dengan sebutan
BAWAS, dalam visi dan misinya berfokus kepada Kemandirian, Pelayanan (berikan
pelayanan prima, ciptakan public trust),
Kepemimpinan dan Kepercayaan (Transparansi).
Untuk
kepemimpinan, MARI menganut sistem KETUA bukan KEPALA. Pemikirannya berasal
dari Kepala yang lebih cenderung kepemimpinan Vertikal (Atas dan Bawahan)
sementara Ketua lebih ke arah Leadership Horizontal (sejajar). Sambil bergurau ia mengingatkan kata
Leadership yang kepemimpinan bukan dealership yang akan memiliki makna jauh
berbeda.
Peraturan
Mahkamah Agung (PERMA) No 8 mengharapkan kepemimpinan yang total yang mampu
melakukan pembinaan dan pengawasan. Yang terjadi
saat ini adalah perpecahan, saling intai antara ketua dengan wakil, ketua
dengan panitera hingga menjalar sampai bagian bawah yaitu staf.
Ia kembali
berujar, bahwa pada masa awal kemedekaan masih banyak ditemukan Ketua
Pengadilan yang berkharisma. Sekitar tahun 1960-1980 arah kepemimpinan mulai
mengalami pergeseran, Ketua Pengadilan menjabat
karena faktor pangkat, disini muncul gaya kepemimpinan feodalistik.
Bergeser sedikit
1980-2000, arah kepemimpinan berganti kea rah Paternalistik, Ketua adalah
BAPAK. Masa ini muncul jabatan wakil ketua agar ketua tidak menjadi otoritas.
Dan menjadikan wakil sebagai jembatan penghubung. Ini sebabnya wakil ketua
menjadi sulit. Ia menganalogikan sebagai SOPIR, Boleh ngebut tapi ngga boleh
nyalip. Atau analogi lainnya Ngiris tapi tidak boleh putus.
Martin Luther JR, pernah menuliskan untuk menjadi nomor satu tidak
semua punya peluang, tetapi kita semua punya peluang yang sama untuk menjadi
orang baik.
Saat ini sedang
terjadi proses regenerasi, harus hati-hati karena sudah berbeda generasi. Saat
ini generasi sekarang generasi digital, jangan sampai regenerasi menjadi
degenerasi.
Hakim, Panitera,
Jurusita danSekretariat adalah 4 (empat) komponen yang harus saling bersinergi.
Tahun 2006 Mahkamah Agung keluarkan Pedoman Perilaku Hakim dan mengalaim
perubahan di tahun 2009. Sudah lebih dari 4 tahun memiliki Kode Etik tapi
kenapa tetap saja banyak pengaduan?
Bahkan tahun
2013 sudah muncul Kode Etik Panitera dan Jurusita. PP No 42 tahun 2014 juga
hadir untuk mengatur staf PNS yang bukan hakim, Panitera Pengganti dan
Jurusita.
Lanjutnya,
Standar Operasiona Prosedur (SOP) yang mengatur Internal dan Standar Pelayanan
Publik (SPP) yang mengatur Eksternal juga sudah dimiliki.
Masih ada Hakim
yang tidak fokus dalam menangani perkara dan kurang terampil dalam membuat
keputusan. Dengan adanya Manajemen Peradilan nantinya akan menyetuh Manajemen
Persidangan.
Dalam hal
hubungan Paternalistik diatas, ini juga yang menyebabkan mengapa putusan
perdata ketua yang memutuskan sementara putusan pidana wakil ketua yang
memutuskan. Hal ini alasan kuatnya adalah karena putusan perdata ketua yang
mengeskusi sementara untuk pidana di eksekusi oleh kejaksaan.
Uniknya Hakim itu adalah Profesi dan Jabatan. Sementara Dokter itu
Profesi bukan Jabatan. Ini yang mendasari Hakim memiliki Hakim Adhoc sementara
Dokter tidak memiliki dokter Adhoc.
Meski waktu
sudah bergulir menuju pukul 21.00, peserta yang hadir masih antusias
mendengarkan sharing session dari beliau, kembali Pak Ansyahrul menuturkan
bahwa masih adanya keluhan dari Hakim Pengawas Bidang yang menyatakan Hakim
Pengawas yang datang untuk melakukan pengawasan tapi kedatangannya diacuhkan
atau diabaikan. Selaku mantan Ka. Bawas, ia juga memberi masukkan agar Hakim
yang ditugaskan mengawasi tingkat pertama di berikan Surat Keputusan (SK) untuk
tingkat pertama SK Ketua Pengadilan Tingkat Banding dan untuk tingkat Banding
dibuatkan SK Mahkamah Agung RI. Hal ini agar muncul kewibawaan dari Hakim yang
hendak melakukan pengawasan.
Tanda Pengenal Peserta |
Ruang tanya
jawab yang dibuka langsung ramai oleh tangan-tangan peserta yang hadir. Dalam
catatan saya pribadi berikut pertanyaan yang muncul.
Manakah yang
lebih penting kaki atau tangan, hal ini berkaitan dengan fungsi Sekretariatan
dan Kepaniteraan? Sekretariatan adalah supporting unit adanya persaingan
diam-diam jabatan sekretaris dan
fungsional. MARI sidang Rakornas muncul berita di DPR yang isinya menerima masukkan melalui IKAHI yang intinya adalah puncak
struktur dari pengadilan adalah Panitera bukan Sekretaris.
Sementara UU No 5
tahun 2004 menyatakan Sekretaris memiliki posisi lebih kuat dari pada Panitera.
Dasarnya Sekretaris tertinggi karena sekretaris yang mengelola keuangan dan itu
yang diakui oleh Kementrian Keuangan.
Sementara BAWAS
sendiri melakukan Pemeriksaan Reguler (Administrasi Rutin), Audit Keuangan,
Pemeriksaan atas Audit Masyarakat dan Pemeriksaan atas Audit Kinerja.
Sebelum menutup
sesinya, kembali ia menegaskan. Hakim itu bukan aparatur Negara tapi
penyelenggara Negara – Eko Prasodjo. Hakim bukan Pegawai Negeri Sipil (PNS)
tapi memiliki Nomenklatur sendiri. Saat ini Negara kita mengatur 3 Nomenklatur
yaitu Aparatur Sipil Negara (ASN), Polri dan Militer dan akan dibuat khusus
untuk Hakim.
Hakim itu adalah Pendengar yang baik, Pembicara yang baik, Pembaca
yang baik dan Penulis yang baik. Kalau kita mau dikenang menulislah atau
lakukan sesuatu yang membuat orang lain tertarik untuk menulis tentang kita
untuk dikenang.
Terakhir, masih
ada saja yang semangat bertanya. Peserta yang hadir bertanya bagaimana cara
mengurangi jumlah pengaduan dan tembusan-tembusan yang masuk dalam laporan?
Untuk tembusan-tembusan pengaduan yang masuk diselesaikan dengan
langkah-langkah formalistik. Sementara untuk pengaduan, lakukan pemeriksaan
jika ditemukan adanya bukti-bukti awal.
Orang baik tidak
memerlukan hukum, hanya orang jahat dan orang yang berniat jahat saja yang
memerlukan hukum – PLATO
Hal ini dikaitkan pak
Ansyahrul, Hakim baik tidak memerlukan kode etik, hanya hakim nakal dan hakim yang berniat nakal saja yang
memerlukan kode etik.
Negara Belanda
sendiri menurutnya hanya memiliki 60 unit Pengadilan dengan jarak tempuh 400 KM
dan bisa sedemikian rapih dalam memberikan produk dan layanan hukum yang
berkualitas.
Terakhir ia
menutup dengan manis mengutip sebuah ungkapan, SETIAP HAKIM HARUS
MENJADI PANUTAN BUKAN MENCARI PANUTAN.
Semoga Pemuliaan
Peradilan dapat diraih demi Terwujudnya Badan Peradilan Yang Agung.
Disclaimer.
Ini adalah
catatan ringan dari staf yang kebetulan diikutsertakan dalam sosialisasi untuk
Ketua dan Hakim seluruh Peradilan.