Akhirnya
kesampaian juga membaca satu lagi buku karyanya Om Maman Suherman, Ga bisa
dipungkiri akhirnya saya pribadi menyukai beberapa buku yang beliau ciptakan.
Secara melalui buku karya Om Maman, jadi tercerahkan, menambah keilmuan.
Tapi sampai sejauh ini belum kesampaian
juga foto bareng beliau. Semoga suatu saat bisa kesampaian foto bareng dan
berdiskusi langsung bareng beliau. Amin.
Dan setelah selesai membaca buku Re dan Perempuan ini jadi sedikit menghubungkan bahwa jangan-jangan salah satu puisi di buku Ada Nama Yang Abadi Di Hati Tapi Tak Bisa Dinikahi adalah pengalaman dari Om Maman dalam buku ini. Dari buku Re dan Perempuan akhirnya “ngeh” bahwa buku juga ada Batasan-batasan usianya.
Ini Cerita Tentang Re dan Perempuan dalam Sepenggal Perjalanan Hidup Om
Maman
Setelah
membaca buku Re dan Perempuan, rupanya ini adalah hasil penelitian beliau
selama membut skripsi sekaligus ketika bekerja menjadi seorang reporter. Dan
memang sejatinya pengalaman hidup selalu menarik untuk diceritakan kembali.
Jadi tahu
juga Om Maman dulu jurusan kuliahnya adalah Kriminlogi yang didalamnya juga
mempelajari tentang Viktimologi, salah satu matakuliah yang menggunakan sudut
pandang berbeda dalam kriminologi. Ilmu yang mempelajari tentang korban
kejahatan, didalamnya membahas bagaimana peranan korban dalam terjadinya suatu
kejahatan, hubungan antara pelaku dengan korban, ketakutan korban terhadap
kejahatan juga sikap korban terhadap peraturan dan penegakan hukum, seru juga
mata kuliahnya. Salah satu perintis Viktimologi adalah Benjamin Mendelsohn.
Seperti biasa saya selalu mencatat apa yang saya dapatkan setelah membaca sebuah buku. Berikut catatan saya;
Diingatkan
melalui pengalaman Om Maman jangan mudah percaya
terhadap apa yang dilihat. Baru
diawal cerita langsung disuguhi adegan kekerasan pembunuhan. Iya, seorang
Wanita Tuna Susila (WTS) Pelacur, tewas mengenaskan setelah menjadi korban
tabrak lari.
Dalam
Salah satu percakapan antara Herman (Om Maman dalam Buku ini) dan Re terkait
dengan kematian Sinta yang janggal “Kamu ngakunya mahasiswa kriminlogi, masak
sih percaya dia bunuh diri.... kamu sendiri yang bilang, jangan percaya begitu
saja apa yang kamu lihat. Mata bisa tertipu”. Halaman 30.
Tuh, baru
diawal aja udah diajak untuk berfikir kritis.
Ingat ini
“Yang Pandito belum tentu tidak Bandito”, halaman 33.
Re, nama
panggilan dari Rere, seorang anak perempuan lahir dari ayah yang tidak jelas
siapa. Meskipun mendapatkan kasih sayang ibu yang tepat, kesalahan yang sama
kembali terulang, dengan
alur cerita yang berbeda,
Lalu
siapa sih Re ini. Re, adalah
seorang pendengar yang baik sekaligus pengingat yang kuat. Re bukan pelacur
biasa, ia gadis yang cerdas, kata-kata yang diucapkannya runtun dan lumayan cerdas
sistematis, tentang Re dimata Herman. Namun
bisa dikata nasib baik tidak berpihak kepada Re.
Dan memang sejatinya
dari dahulu bahwa Penyakit Masyarakat/ Patologi Sosial seperti Pelacuran
Korupsi, Kriminalitas, dan Radikalisme Remaja serta lainnya adalah masalah sosial yang ditimbulkan
dari ketimpangan yang berada masyarakat.
Kembali diingatkan
oleh Om Maman bahwasannya Negara
turut bersalah dalam terjadinya sebuah kejahatan, dan karenanya negara harus
memberikan kompensasi kepada korban di samping memungkinkan adanya restitusi
yang diberikan oleh si pelaku kejahatan kepada korbanya, halaman 93.
Yang membuat Herman kuat bertahan hidup
dengan kesulitan hidup di Jakarta tidak lepas dari pesan-pesan yang diberikan
oleh sang nenek. “Kalau melihat apa
yang bukan milikmu, meskipun kamu sangat menginginkannya jangan diambil,” pesan sang nenek kepada Herman. Demi melihat
herman kecil mengambil permen
sang adik. Dan pesan ini yg ia ingat terus hingga dewasa.
Dalam buku ini ada pesan juga untuk yang
hendak bunuh diri karena putus asa atau apapun alasannya,
Mati mungkin jalan indah untuk mengakhiri derita, Iya, bagi
yang mati. Tetapi belum tentu bagi yang ditinggal, sedihnya melampaui segala kesedihan
yang bisa kita perkirakan. Hal. 156.
Herman sendiri merasakan kesedihan
tersebut meskipun kematian
Re telah pulihan tahun terlewat.
Ada pertanyaan menarik dari Herman kepada Re
tentang pahitnya kehidupan, apa sih yang dirasakan oleh Re, dan Re pun
memberikan perumpamaan “Kalau hatimu hanya sebesar gelas,
asin derita itu akan sangat kau rasakan,
tetapi kalau hatimu seluas danau, garam segenggam tadi, asin tadi takkan kau
rasakan. Halaman 161. Perluas
hatimu maka rasa kecewa sakit akan menghilang tidak terasa.
Dari buku ini juga jadi tahu beberapa istilah
slank seperti
Gadun=om-om
senang.
Pecun
=perek culun, perek pecundang, perek beracun
Perek=
perenpuan eksperimen
Melur=bunga
melati. (yang ini bukan ya)
Halaman
220.
Pesan Lainnya dalam Buku
ini
Tahukah
kamu apa yang lebih menyakitkan daripada kematian? MEMAAFKAN. Karena
dengan memaafkan kau akan memendam rasa sakit dalam hatimu.
Aku
berharap sekarang kau bisa bergerak dari luka masalalumu, jangan buat
dirimu menderita lagi atas apa yang terjadi di masa lalu.
Keadilan
yang dilanggar tidak boleh diadili melakui cara yang tidak adil.
Istila
bedinde diganti memjadi babu, pembantu, pembokat lalu menjadi makin cantik
asisten rumah tangga. Kita ribut memperdebatkan sampul, kita buang-buang energi
memilih kertas kado tapi isinya tidak kita perhatikan. Suami istri sibuk
memilih nama terindah untuk anaknya, tapi lupa mewujudkan makna dibalik nama
indah pilihannya tersebut. Hal.177.
Halaman
225 dari buku Kang maman ini menceritakan juga Jenis-jenis badik, mulai
dari Badik Jantung Lompobattang,
Badik La Gecong, Badik Simpa Siolong atau Cappa Sikadong,
Badik Rakapeng dan Combong. Jadi penasaran pengen tahu juga seperti apa sih badik itu dan apa
kegunaannya? Sedikit dijelaskan bahwa Badik adalah simbol harkat,
martabat yang harus terus dijaga dan diteggakkan oleh anak dan garis
keturunannya berasal dari Sungguminasa. Badik simbol keberanian menghadapi
segala tantangan hidup, pantang mundur demi mencapai tujuan. Halaman 226.
Ada juga
istilah 3 yang haru dijaga laki2 ... untuk yang ini ada juga di buku lainnya kang maman.
Hal 192,
Rere pernah berujar "ukuran terindah cinta adalah mencintai tanpa pernah
mengukurnya"
Halaman
302, Tuhan tak ada di dekat kursi tempat orang pamer kepandaian, kealiman dan
kekuasaan. Tuhan tak terjangkau dengan nalar laba dan rugi. TUHAN berada di
jalan sunyi, dijalan orang-orang yang tak berhenti mencintai.
Ditutup dengan manis dengan pesan ini “Sumber kebahagiaan bukanlah keterkenalan,
kehebatan, kekuasaan, dan kekayaan seseorang. BAHAGIA itu bersumber dari
keteguhan seseorang untuk selalu berusaha berbuat kebajikan, penuh kesabaran
dalam hujan cobaan dan mensyukuri apa yang diperoleh di jalan yang benar. Halaman 306.
Selalu ada yang saya dapat dari membaca, setidaknya
tidak hanya menjadi bertambah tahu tetapi bertambah bijak. Terimakasih Kang
Maman untuk sharing akan pandangan dan wawasan serta pengalaman dalam
buku-bukunya yang menarik.